Kamis, 28 Februari 2013

Aku Tak Ingin Kenal dengan Maulana dan Ki Lalat Socrates



Dua orang ini membahayakan, begitulah orang-orang sekitar berbicara dan sesekali mencoba menasehatiku. Jika kau mengenalnya, segeralah menjauh darinya.

Awal berada di kampus ini, aku tak pernah membayangkan bisa ketemu dengan dua orang yang dianggap berbahaya itu, hari demi hari berlanjut. Tidak ada masalah, tak ada yang disebutkan itu, berbahaya. Baiklah aku akan menceritakannya satu orang-satu orang.

Berawal dari Maulana, senyumnya ikut menginspirasi untuk tersenyum juga. Tawanya itu tak karuan, seenak hati saja. Dia menikmati tawanya, yang kadang membuatku iri. Apa yang disampaikan bisa aku mengerti (kadang-kadang tidak) dan membuatku tambah bersemangat untuk terus belajar. Hujan besar sore hari, dia datang dengan jas hujannya, dengan ujung celana yang basah, lalu memesan rook, kopi, dan sedikit cemilan, mencari kelas, mulailah dia terangkan apa yang disebut pengetahuan.

Metode belajarnya, terutama membuat peta pikiran (mind map), kupakai sampai saat ini untuk mengenali buku dan mendengar ucapan yang lain. Itu cara berpikir ! tegasnya. Dan aku mulai merasakan enak betul ketika menjelaskan suatu hal. Aku tularkan pada yang lain, mereka pun senang.

Maulana, begitulah dia disebut orang banyak, orangnya serius, aku pun menikmati keseriusan itu. Ya, sebenarnya aku sering tak kuat dan terlalu sering juga mengomel pada diri sendiri. Suatu waktu, aku dituduh hanya main-main saja dalam belajar. Aku tak terima. Aku serius, sama seperti dia ketika mengajar. Aku memang tak bisa menulis, tapi aku akan belajar untuk menulis. Aku menulis dengan caraku sendiri, dan kapanpun aku mau, gumamku dalam hati. Aku akan menulis.

Maulana pergi, mungkin dia bosan melihatku malas-malasan. Aku tau, dia dibutuhkan orang banyak. Tak mungkin dia memikirkan aku seorang yang malas. Dia memikirkan banyak hal. Sekarang aku ingin berbeda dengannya, aku akan berpikir tentang diriku sendiri yang malas-malasan..

Pelajaran terakhir yang aku dapat darinya, adalah tentang prasangka baik dan jelek. Aku meraskan bagian terdalamnya dari pelajaran itu. Aku tau dia akan kembali setelah selesai dengan pertapaannya dan urusan-urusannya. Aku akan menunggunya sambil menyiapkan diri untuk menerima tawanya, metodenya yang gampang dipraktikkan itu, pengalamannya yang sarat luas pengetahuan dan apapun yang ada padanya. Setibanya dia, aku akan yakinkan dia, kalau aku bisa menulis sesuai dengan seleraku menulis.

Sekarang, Ki Lalat Socrates, nama yang selalu menemani perjalanan kehidupan di kota ini. Baik ketika aku sedih maupun ketika sedang bahagia. Walaupun seringkali aku datang dan merasa butuh ketika kesedihan hebat menderaku. Ketika senang, aku hanya mengingat, jarang untuk mendatangi. Dan aku harus tinggalkan cara bersikap seperti itu.

Dan aku paham, bahwa nama yang disandangnya itu sangat pas sekali, Ki Lalat Socrates. Dia memang penutur kehidupan, spesifik lagi, penutur makna kehidupan. Seperti Socrates, yang tak pernah lelah merenungkan tentang kehidupan. Bertanya tentang hal-hal yang jarang ditanyakan. Apa itu baik? Apa itu buruk? Apa itu kebaikan? Apa itu kejahatan? Apa itu bersyukur? Apa itu keyakinan? Apa itu kebenaran? Apa itu Tuhan? Dengan sederet tanya lainnya yang mengitari kehidupan ini. Aku selalu mengiyakan apa yang dikatakannya, karena memang begitu adanya.

Namun adakalanya konsekuensi dari mengetahui itu yang memang sulit diterima. Seperti suatu waktu dia mengatakan tentang makna kebenaran, ‘kebenaran adalah suatu hal yang begitu ditakuti dan kita akan menyiapkan seribu alas an untuk menolaknya, atau bahkan membunuhnya jika kebenaran itu berwujud manusia’. Tak ada jalan lain dengan pikiran yang menohok seperti itu, karena memang dalam diri ini seperti kata-katanya itu.

Jika berdiskusi dengannya, diskusi yang bisa sampai berlarut-larut, tak harus banyak makanan, cukup kopi dan cadangan rokok saja agar bisa menahan rasa kantuk. Terkadang secangkir kopi pun dinikmati bersama-sama. Sikapnya itu tidak membuat canggung ketika bersama dengannya. Dalam beberapa kesempatan, saya bisa saja tidak kontrol diri, berbicara seenakanya. Namun dia enjoy aja seperti sedang menikmati nada-nada Mozart. Tinggi rendahnya nada di alami dan dinikmati dengan penuh rasa syukur.

Hal yang penting, yang didapat selama bersamanya adalah tentang kata ‘makna’. Kata yang membuatku kadang merasa awas ketika mendapat kebahagiaan ataupun kesedihan. Kata yang membuatku bertanya-tanya dalam segala peristiwa kehidupan ini. Kata yang membuatku penasaran terhadap metode hermeneutic, walaupun sekarang belum dipelajari dengan baik. Dari makna-makna itulah aku sering menghubungkan satu dengan liannya tindakan-tindakanku, disitulah aku bisa menilai diri ini. Kalau aku ini ? bla-bla-bla…

Hal lain yang tak kalah pentingnya, yang aku ingat dari dia adalah tentang kejujuran. Kejujuran menerima kondisi diri. Aku tidak dipaksa untuk bercerita, dia memposisikan aku sebagai teman karibnya. Maka mulailah dia menceritakan pengalaman hidupnya. Ya, dia pencerita yang baik, karena kau bisa seakan mengalami apa yang dia alami. Maka mulailah aku pun tak canggung untuk menceritakan apa yang kuhadapi sekarang dan pengalaman-pengalaman  dulu yang membentukku sekarang ini. Aku belajar banyak dengan cara seperti itu.

Akhirnya aku sependapat dengan orang lain itu, bahwa keduanya ‘berbahaya’. Baik ketika didekatnya, sedang berdiskusi dengannya, atau ketika tidak bersamanya. Tanda tanya ini selalu menghantui pada saat-saat tertentu. Mereka selalu membuat tanya, selalu menjerumuskan pada jurang gelap yang dalam. Hadi atau tak hadir, tidak lagi berpengaruh. Suaranya datang secara tiba-tiba.

Maulana dalam mimpiku, memakai baju putih sarung putih, mendekat dan bersila dihadapanku, menanyakan kabarku? Menanyakan buku apa saja yang sudah dibaca hari ini? Menanyakan tentang tulisanku yang masih acak-acakan. Dan tak pernah menanyakan tentang perutku. Dan aku pun paham kenapa dia tidak bertanya tentang  hal itu.

Lalu, Ki Lalat Socrates, seperti namanya seekor lalat, selalu mengganggu dalam lamunan siangku, dalam tidur siangku dan setiap disaat aku mau mulai mengaso di sore atau malam menjelang subuh. Hinggap di hidungku sambil melotot, seringnya sambil tersenyum dan bertanya kepadaku dengan suara jelas, apa kamu sudah berani untuk menjalani hidup? Lalu pergi sambil tertawa dan hanya itu yang ditanyakan, tak ada yang lain. Membuat bingung dan menelanjangi suatu hal adalah tugasnya.

Alhasil, aku mengamini judul tulisan ini. Aku tak ingin kenal dengan Maulana dan Ki Lalat Socrates. Banyak orang yang kenal denganku, namun mereka tak memahamiku. Begitupun dengan Maulana dan Ki Lalat Socrates, banyak yang mengenalnya dan mengakui kecerdasannya, tapi mereka tak ingin dekat dengannya, tak ingin meminta pikirannya, karena tak ingin diganggu perutnya. Ya, takut akan kata kebenaran, takut tidak dapat hidup dengan kata kebenaran.

Aku tak hanya ingin kenal saja dengan Maulana dan Ki Lalat Socrates, aku ingin selalu berada dalam samudranya, terombang-ambing seakan perahu tanpa layar. Namun, suatu saat aku yakin daratan itu pasti kujamahi dengan kaki yang kuat.
Kenal saja tak cukup, aku selalu rindu dengan keduanya.


Taman Baca Sophia, 28 Februari 2013 jam 20.00 WIB

Senin, 07 Mei 2012

Lomba Baca Puisi dan Menulis Surat Untuk Nabi Muhammad SAW tingkat SMA dan Sederajat

AQIDAH FILSAFAT FAIR 2012
“Meneladani Sosok Muhammad SAW dengan Berkarya dan Berbagi antar sesama”
Senin-Senin | 21—28 Mei 2012 | Auditorium UIN Sunan Gunung Djati Bandung
HMJ Aqidah Filsafat | Fakultas Ushuluddin | UIN SGD Bandung

KETENTUAN UMUM
LOMBA BACA PUISI DAN MENULIS SURAT UNTUK NABI MUHAMMAD SAW
ANTAR SMA/SEDERAJAT TINGKAT NASIONAL
I.                    PESERTA

§  Peserta adalah siswa/i SMA/sederajat se-Indonesia, Warga Negara Indonesia maupun asing (WNI atau WNA) yang menempuh pendidikan formal di Indonesia.


II.                  LOMBA BACA PUISI

§  Pendaftaran lomba tidak dipungut biaya apapun
§  Pendaftaran dibuka sejak tanggal 16 April 2012 Pukul 00.00 WIB dan ditutup pada tanggal 21 Mei 2012 pukul 12.00 WIB
§  Mendaftarkan diri langsung ke Sekertariat Himpunan Mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung, Jl. A. H Nasution no 505 Bandung 40614 (samping kiri kampus UIN Bandung/terusan toko buku Iqra) atau via sms dengan  mengetik format:
[NamaLengkap_AsalSekolah_Kota/Kabupaten_Provinsi_PuisiPilihanpeserta]
ke Panitia Koordinator Lomba “Baca Puisi”: 085321640471 / 085721428956
§  Peserta sudah hadir di tempat perlombaan paling akhir 30 menit sebelum pelaksanaan untuk daftar ulang dengan menunjukan Kartu Pelajar Asli atau Surat Keterangan Pelajar Lain, mengisi daftar hadir dan mengambil nomor urut peserta lomba dari panitia
§  Lomba baca puisi dilaksanakan pada hari senin dan selasa, 21-22 Mei 2012 pukul 13.00 WIB s/d selesai  
§  Setiap peserta membacakan puisi wajib (Surat untuk Rosulullah karangan D Zawawi Imron) dan 1  puisi pilihan peserta yang disediakan oleh panitia lomba (terlampir).
§ Pada pelaksanaan, peserta yang dipanggil sampai tiga kali dan tidak hadir maka dinyatakan gugur.


III.                LOMBA MENULIS SURAT UNTUK NABI MUHAMMAD SAW

§  Perlombaan bersifat terbuka (tanpa daftar terlebih dahulu) dan tanpa pungutan biaya apapun (gratis)
§  Perlombaan dilaksanakan melalui tahap pengumpulan naskah lomba dari peserta, penjurian dan pengumuman pemenang.
§  Setiap peserta boleh mengirimkan lebih dari satu naskah dengan deskripsi umum: Surat dapat berupa ungkapan kegelisahan, kerinduan, dan tema-tema lain yang ditujukan pada Nabi Muhammad SAW.
§  Seluruh naskah lomba harus disertai kartu identitas (Kartu Pelajar) dan mencantumkan identitas lengkap (biografi) penulis meliputi nama, tempat/tanggal lahir, nama sekolah, alamat sekolah/madrasah, alamat rumah, dan nomor kontak selular atau nomor kontak rumah.
§  Tulisan diketik dengan jenis huruf Times New Roman ukuran 12, spasi 1,5, margins top; bottom; left; right 2,5 cm dengan panjang tulisan minimal 2 halaman.
§  Penerimaan tulisan dimulai sejak tanggal 16 April 2012 pukul 00.00 WIB dan ditutup  tanggal pada tanggal 20 Mei 2012 pukul 24.00 WIB.
§  Tulisan bisa dikirim langsung, via Pos/Jasa pengiriman lain (Tiki, dll) ke Sekertariat Himpunan Mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung, Jl. A. H. Nasution No. 505 Bandung 40614 atau  e-mail ke: suratmuhammad@yahoo.com
§  15 naskah surat terbaik akan dibukukan, dan masing-masing berhak mendapatkan 1 buku.


IV.                PENJURIAN

§  Kriteria penilaian diserahkan sepenuhnya kepada para Dewan Juri.
§  Dewan Juri lomba “Membaca Puisi” terdiri dari Bambang Q-Anees (kritikus sastra) Soni Farid Maulana (Redaktur Harian Pikiran Rakyat)dan Iman Soleh (Dramawan)
§  Dewan Juri lomba “Menulis Surat untuk Nabi Muhammad SAW” terdiri dari D Zawawi Imron (Sastrawan/budayawan), Cecep Burdansyah (Pimpinan Redaksi Harian Tribun Jabar) dan Fatin Hamama (Pengurus Komunitas Sastra Indonesia Pusat)
§  Keputusan Dewan Juri adalah mutlak dan tidak bisa diganggu-gugat.



V.                  PENGUMUMAN PEMENANG

§  Pengumuman Juara Lomba dan Penyerahan Hadiah dilaksanakan pada puncak sekaligus penutupan rangkaian acara AQIDAH FILSAFAT FAIR 2012, Senin, 28 Mei 2012 pukul 19.00 WIB di Auditorium UIN Sunan Gunung Djati Bandung, di jejaring sosial Aqidah Filsafat: Facebook: Aqidah Filsafat Bandung, Harian umum Pikiran Rakyat dan Harian umum Tribun Jabar.
§  Apabila dikemudian hari diketahui pemenang  melakukan pelanggaran ketentuan lomba, maka status juara akan dipindahkan satu peringkat dibawahnya.

VI.                HADIAH PENGHARGAAN

Para pemenang Lomba “Baca Puisi” dan Lomba “Menulis Surat untuk Nabi Muhammad SAW” masing-masing akan mendapatkan:
§  Juara I   : Piala dan Uang Pembinaan sebesar Rp. 2.000.000,-
§  Juara II  : Piala dan Uang Pembinaan sebesar Rp. 1.500.000,-
§  Juara III : Piala dan Uang Pembinaan sebesar Rp. 1.000.000,-

VII.              KETERANGAN LAIN

§  Informasi: Sekertariat Himpunan Mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung, Jl. A. H Nasution No 505 Bandung 40614 (samping kiri kampus UIN Bandung/terusan toko buku Iqra) atau hubungi panitia koordinator lomba “Baca Puisi” dan “Menulis Surat untuk Muhammad” Aqidah Filsafat Fair 2012 (085321640471 / (085721428956)

VIII.            LAMPIRAN

Materi Lomba “Baca Puisi” antar SMA/sederajat tingkat Nasional terdiri dari:
§  Puisi Wajib;
Surat untuk Rasulullah
D Zawawi Imron
Wahai kekasih,
Dari sudut ufuk yang tak kukenal
senyum agungmu     menaburkan pesona

Pada debu-debu
yang mengepul dari derap kakimu
ada sebutir zamrud hijau
terbang menghinggapi hatiku

Wahai kekasih Allah,
Rahmat dan sejahtera semoga untukmu
dan selalu untukmu

Aku minta
sudilah engkau menjumpaiku nanti
yang mungkin terengah-engah
dalam jilatan lidah api neraka
Dan izinkan aku berteduh
di bawah naungan jubahmu
yang hijau kebiruan itu

Meski jejak-jejakmu penuh dengan bercak-bercak darah

Wahai kekasih,
apakah salah kalau aku merindukan
Sebuah Negeri Yang Indah?

1967
Dari: Derap-derap Tasbih.




§  5 Puisi Pilihan;


1). Do’a
kepada pemeluk teguh
Chairil Anwar

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
13 November 1943

2). Pelayaran Tuhan
Afrizal Malna

Dalam orang tak bertuhan dalam orang tak bertuhan
aku berlayar dalam tubuh tubuh sepi
terdaging di puncak puncak kediaman hening
mengeras dalam hujan hujan panjang
O, tuhan berlaut dalam keheningan nisu
pada kapal kapal kaku
bisik bisik menjauh
kata yang mengeras dalam makna
aku mengental dalam tarian sinarmu
mabok lautanmu - samudra diri
melaju
melaju kaku
ke kota kota sepi
semua tak bicara dalam sujud abadi:
diri yang terusir darimu
jadi laut tak bertepi

  
3). Aku Merindukanmu, Oh Muhammadku
A Mustofa Bisri

Aku merindukanmu oh Muhammadku
Sepanjang jalan kulihat wajah-wajah
yang kalah
menatap mataku yang tak berdaya
sementara tangan-tangan perkasa
terus mempermainkan kelemahan
airmataku pun mengalir mengikuti panjang
jalan
mencari-cari tangan
lembut-wibawamu
Dari dada-dada tipis papan
terus kudengar suara serutan
derita mengiris berkepanjangan
dan kepongahan tingkah-meningkah
telingaku pun kutelengkan
berharap sesekali mendengar
merdu-menghibur suaramu
Aku merindukanmu oh Muhammadku
Ribuan tangan gurita keserakahan
menjulur-julur ke sana kemari
mencari mangsa memakan kurban
melilit bumi meretas harapan
aku pun dengan sisa-sisa suaraku
mencoba memanggil-manggilmu
Oh Muhammadku, oh Muhammadku
Di mana-mana sesama suadara
saling cakar berebut benar
sambil terus berbuat kesalahan
Qur’an dan sabdamu hanyalah kendaraan
masing-masing mereka yang berkepentingan
aku pun meninggalkan mereka
mencoba mencarimu dalam sepi rinduku
Aku merindukanmu oh Muhammadku
Sekian banyak Abu Jahal Abu Lahab
menitis ke sekian banyak umatmu
Oh Muhammadku-salawat dan salam bagimu-
bagaimana melawan gelombang kebodohan
dan kecongkakan yang telah tergayakan
bagaimana memerangi umat sendiri?
Oh Muhammadku
Aku merindukanmu oh Muhammadku
Aku sungguh merindukanmu.
1416H


4). Ingat Aku dalam Do’amu
Ajip Rosidi

Ingat aku dalam do'amu: di depan makam Ibrahim
akan dikabulkan Yang Maha Rahim
Hidupku di dunia ini, di alam akhir nanti
lindungi dengan rahmat, limpahi dengan kurnia Gusti
Ingat aku dalam do'amu: di depan makam Ibrahim
di dalam solatmu, dalam sadarmu, dalam mimpimu
Setiap tarikan nafasku, pun waktu menghembuskannya
jadilah berkah, semata limpahan rido Illahi
Ya Robbi!
Biarkan kasih-Mu mengalir abadi
Ingat aku dalam do'a-Mu
Ingat aku dalam firman-Mu
Ingat aku dalam diam-Mu
Ingat aku
Ingat
Amin
  

5). Doa Malam
Ws Rendra

Allah di sorga.
Dari rumah bambu sempitku
di malam yang dingin
tanganku yang rapuh
menggapai sorga-Mu.
Aku akan tidur di mata-Mu
yang mengandung bianglala
dan lembah kasur beledu.
Ketika angin menyapu rambut-Mu
yang ikal dan panjang
aku akan berlutut di pintu telinga-Mu
dan mengucapkan doaku.
Doa adalah impian
dan segala harapan insan.
Di dalam doa aku bisikkan impianku.
Apakah Kau tertawa lucu?
Anakku yang kecil memanjat jubah-Mu
dan tidur di dalam saku-Mu.
Sedang bulan di atas pundak-Mu
istriku masuk ke dalam darah-Mu.
Ketika Engkau mengucapkan selamat malam
bunga-bunga kertas aneka warna
berhamburan dari mulut-Mu.
Dan untuk anakku.
Kausediakan balonan biru.
Bintang-bintang bertepuk tangan
dan serangga malam riuh tertawa
semua mengagumi-Mu:
Tukang Sulapan Tak Bertara.
Lalu Kauangkat tangan-Mu berpospor
gemerlapan, tinggi-tinggi, gemerlapan.
Dan itu berarti: selamat tidur
sampai ketemu esok hari
dengan sulapan yang lain dan baru.









***





Minggu, 13 Februari 2011

GERAK DALAM KETIDAKMENGERTIAN (sekedar pikiran sebelum tidur)

Di siang yang cerah, awan yang berganti di atas uban kepala, pikir aku yang bergerak berjalan sendiri dijalanan itu, mengundang segala bentuk permasalahan ketika gerak kaki susuri jalanan berdebu. Ku perhatikan langkah gerak kaki yang mulai gontai, ‘gerak’ memang selalu menjadi persoalan. Baik itu secara kata ‘gerak’ itu sendiri, maupun lanjutan dari kata ‘gerak’ itu. Sebenarnya persoalan yang cukup dasar dan harus menjadi perhatian penting, terutama buat diriku yang sekarang ini sedang dalam masa studi di Manisi, di UIN Bandung, di Aqidah Filsafat. ‘Gerak’, aku tak cukup paham itu.

Setiap manusia dalam gerak, selalu menuntut sesuatu akibat dari gerak itu. Sering mendengar dari para agamawan, bahwa kita sebagai manusia harus memperhatikan tingkah lakunya, supaya selamat di kehidupan nanti setelah kematian (akhirat), dan banyak ungkapan yang semakna dengan redaksi yang berbeda. Ini masalah dari kata ‘gerak’ itu sendiri. ‘Gerak’, aku tak paham itu.

Seorang mahasiswa pernah berujar, ‘setiap perubahan dalam suatu Bangsa atau Negara (revolusi), selalu ada yang dikorbankan’, terlepas pernyataan itu benar atau salah, namun ini persoalan dari kata ‘gerak’. ‘Gerak’ selalu berkelindan dengan kata ‘perubahan’, secara substansinya ataupun kategori lainnya. Apa sebenarnya arti dari kata ‘gerak’ itu? ‘Gerak’, aku tak cukup paham itu.

Selepas kuliah, matahari mulai surut terbenam, seperti halnya jarum di jam dingding yang mulai menukik ke bawah. Mencoba berjalan kaki kembali, entah apa yang terpikir? Akhir-akhir ini, aku sering sekali menghampiri sejumlah masalah hidup. Memang benar setiap, orang punya masalah jika dipikirkan lebih lanjut. Sehingga ada asumsi, bahwa masalah itu adalah ciri manusia hidup. Seorang teman membantah, bahwa ketika sudah matipun, jikalau seorang manusia sering berbuat salah (dosa), maka dia akan mendapat masalah setelah matinya. Sehingga masalah itu selalu hadir ketika hidup dan matinya seorang manusia. Apa memang demikian? Aku belum pernah merasakan kematian yang secara umum dipahami. Namun, terpikirnya apa itu masalah, terutama masalah hidupku, itu berawal dari ‘gerak’, aku memahaminya dari gerak pikiranku yang terbawa kemana saja. Apa kata ‘gerak’ juga menyangkut wilayah pikiran (ide), tidak hanya wilayah material(fisika) saja? ‘Gerak’, aku tak paham itu.

Masih dalam situasi berjalan kaki, menuju rumah seorang rekan. Sesampainya ditempat, seperti biasanya jamuan kopi hangat yang diisi berulang kali menjadi sahabat setia dalam setiap obrolan dengannya. Kopi itu berhenti dituangkan, jika tidak ada lagi kopi, obrolan selesai dan kembali pada kesibukan masing-masing atau aku pamit, juga sebaliknya. Obrolan yang tertuju pada wilayah aktivitasku di kampus ini, yang akhirnya aku tidak paham pasti harus apa selanjutnya, selain berupaya lebih giat lagi membaca, menulis dan berdiskusi.

‘Gerak’ tubuh yang aku tidak mengerti, aku sadar betul bahwa tidak selamanya setiap ‘gerak’ tubuh ini membawa arti positif bagi diriku dan sekelilingku. Karena itu, saran, kritik, bahkan hujatan akan aku terima dengan baik. Termasuk pada tulisan ini.



Setumpuk tulang berbalut gumpalan daging yang berusaha ingin sedikit memahami hidup.

Manisi, 11 Februari 2011

03.37 WTB (waktu timur bandung)

DOGMA BERTAHAN HIDUP

Mudah sekali untuk berkata bahwa Agama adalah sumber segalanya, tanpa pernah tahu akan kegunaannya bagi kehidupan manusia secara mendasar. Paling sederhana agama ditafsir sebagai perekat hidup sosial diantara manusia. Dan ini sudah sering dikatakan oleh beberapa pemerhati agama. Pertanyaannya, apakah agama memang dibutuhkan?
Sewaktu kuliah pada tingkat pertama, ada bahasan naluri beragama pada manusia. Kebetulan saya ditugasi sebagai pemakalah pada kuliah tersebut. Ada bahasan menarik, yaitu bahwa naluri beragama adalah suatu naluri yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya, seperti hewan dan tumbuhan, mungkin juga termasuk alien yang minggu-minggu kemarin ramai dibicarakan di stasiun televisi.
Seperti yang kita ketahui, dan sering sekali dijadikan argumen bahwa perbedaan manusia dengan hewan terletak di akalnya. Lalu asumsi yang lain, bahwa naluri beragama hanya dimiliki oleh manusia saja. Artinya hewan tidak punya naluri beragama. Pertanyaannya, apakah naluri beragama ini adalah akal itu sendiri atau bagian lain dari akal? Pertanyaan yang sewaktu kuliah tidak terpikirkan.
Sejenak kita beralih ke pengalaman saya ketika suatu waktu melihat ular berusaha menghindar dari kejaran anjing-anjing yang dipelihara oleh penduduk. Sejenis ular kobra, ular yang bisa dibilang berbisa racunnya. Namun ketika itu, ular tersebut lebih memilih lari atau tepatnya menjauh dengan cepat dari kejaran anjing-anjing yang ketika itu ada sekitar 4 ekor anjing. Beberapa saat, saya mencoba mengamati dan merenungkan hal tersebut. Kenapa ular tersebut tidak melawan anjing itu. Yang sangka saya mungkin tiap seekor anjing sekali pacok aja, anjing-anjing itu sudah jatuh terkena bisa ular tersebut. Kenapa juga harus melarikan diri?
Sampai akhirnya, saya berkesimpulan, bahwa ular pun punya pertimbangan lain. Sering dibahas ketika di SMA dulu, bahwa hewan punya naluri mempertahankan diri dari musuhnya. Contoh yang sering diungkap adalah ubur-ubur di laut dan cumi-cumi dengan tinta di mulutnya. Penuh pertimbangan, dan saya rasa ular atau hewan lainnya punya sejenis akal yang sanggup berpikir cepat dalam kondisi tertentu. Rasa kagum memikirkan hal tersebut.
Untuk hidup di bumi ini, setiap makhluk mempertahankan dirinya sebisa mungkin. Ada yang mempunyai racun atau sejenis senjata, ada juga yang memilih hidup berkelompok. Tidak lain, hanya untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunannya sampai berabad-abad. Sehingga ada untuk bahan cerita pada anak cucunya di kemudian hari tentang kuatnya hidup nenek moyang dulu. Konon manusia zaman dulu, punya berbagai cerita-cerita yang bisa dibanggakan dalam suatu kelompok tertentu.
Rasio terendah yang dimiliki manusia, begitulah saya mendapat pernyataan yang dicetuskan oleh salah seorang pemikir. Bertahan hidup adalah hal yang sangat prinsipil pada makhluk hidup. Walaupun kadang sering bertanya-tanya jika melihat laron-laron yang suka keluar di malam hari dan mendekati sumber cahaya, atau nyamuk-nyamuk kecil yang sekilas tanpa pikiran untuk mendapatkan setetes darah segar. Mungkin saja nyamuk dan laron itu punya strategi lain untuk menjaga dirinya supaya tidak punah, saya tidak cukup mengerti karena memang belum pernah saya teliti dengan detail. Artinya, bahwa bertahan hidup dan menjaga dari kepunahan adalah suatu hal penting pada makhluk hidup. Apakah pada manusia sekarang demikian adanya?
Kembali ke persoalan. Alhasil. Ada indikasi yang secara tidak langsung bahwa naluri beragama dibutuhkan untuk mempertahankan hidupnya, dengan segala jenis aturan di dalamnya. Terlebih yang bersifat hubungan sesama manusia. Termasuk disinilah peran agama yang saya sedikit mengerti. Hidup berkelompok dan menjaga kelompok tersebut dari serangan kelompok lain, atau mungkin menyerang kelompok lain lebih awal demi eksistensinya dan kelestariannya di bumi ini. Sehingga menjadi kebanggaan buat diceritakan pada anak cucunya, walaupun darah basahi bumi.
Jawabnya, agama memang dibutuhkan dengan sangat demi kepentingan kelestarian suatu spesies tertentu. Sayangnya kita hanya belajar dari hewan yang cenderung menyerang secara berkelompok, seperti anjing, dan tidak belajar dari hewan yang penuh pertimbangan kelemahan yang ada pada dirinya walaupun sebenarnya punya bisa yang mematikan, seperti ular yang diceritakan.”Tak ada yang begitu amat mengena di hati selain rasa manis yang muncul dari isak tangis bersama”, ungkap seorang manusia. Bersama, kita hancurkan mereka.
Sedikit penuh misteri. Apa demikian yang kita kehendaki.

Sedikit waktu yang merenung dangkal di tengah lautan dalam.
Manisi. 13-02-2011 22.07 WTB (Waktu Timur Bandung)

Sabtu, 22 Januari 2011

Gumamanku 1
Ketika malam bersambut, rasa lelah meyertai setiap hentakan kaki. Tidak seperti biasanya, timbul keinginan untuk sedikit kilas balik terhadap apa-apa yang sudah kulakukan sampai sekarang ini. Ada saja, suatu waktu seseorang teman pernah bertanya, untuk apa kulakukan semua ini? Sampai sekarang ini? Banyak jawaban dalam pikirku, yang tak sempat terucap langsung padanya, hanya melebarnya bibir yang kuarahkan padanya. Sejauh apa yang melekat dalam diriku, dan setiap jawabku akan dianggap baik dan benar oleh setiap satuan yang menghampiriku. Sebanyak satuan subjek yang bendawi dan nirbendawi (konsepsi). Sampai seorang teman itu hilang ditelan waktu matahari, hingga tiba rembulan menampakan senyumnya, gumaman jawaban masih saja menemani dengan hangat dan penuh mesra, disertai panacea hitam, sorot mata tetap saja awas akibatnya. bermuara untuk saat ini pada satu jawab yang tidak beralasan pasti, untuk diriku. Ya, semuanya untuk diriku. Jauh dekat pandanganku, untuk-ku. Luas sempit injak telapak kakiku, karena-ku. Apapun itu semua, untuk diri-ku yang berdiam bisu. Bisuku, untuk-ku.
Tekanan balpoint hitam pada secarik kertas, dari tangan yang sedikit berhias hitam pula. Sampai perdetik lewat begitu saja, alhasil sebuah coret. Arti diri sepenuhnya, ada dalam diri-ku. Dan setiap yang tergores akan memberikan arti, untuk siapa? Untuk siapa yang bersentuhan.
Buku-buku yang hadirnya memberi pilihan terlebih dahulu. Penulisnya kebanyakan tak pernah bertemu. Hanya harap untuk temu, dan ini berkaitan dengan arti pada diri penulis dan yang terkena oleh olehnya (buku-buku). Ya, kurasa memang demikian.
Seorang mahasiswa memberanikan diri untuk mencoba bermenit-menit melihat tumpukan kertas. Jenuh, dering telepon genggam, siaran kotak bergerak bergambar, janji dengan teman ataupun segala hasrat lainnya menghaampiri perdetiknya. Lalu, timbul tanya dari sekitarku, apa maksudnya? Aku juga tak paham. Jawabnya, hanya berusaha memilah salah satu ingin diantara puluhan keinginan. Untuk siapa? Jelas, untuk diri yang pemberani diantara pemberani yang mempunyai hasrat melakukan sesuatu.
Teringat pada cerita seorang yang dikutuk oleh Dewa, gara-gara mencuri api dari tempat dewa itu bersemayam tenang. Gelisah Dewa membuat korban, seorang yang dikutuk. Apa alasan dia dikutuk? Tentunya, naif sekali kalau saja alasannya karena mencuri. Memangnya manusia biasa yang suka menghukum melebihi kadar dari kesalahan atau lebih tepatnya bertindak seolah dewa. Tidak, Dewa tidak seperti itu. Api yang diberikan kepada umat manusia, harus ditebus dengan kutukan, terhimpit diantara bebatuan besar. Dan setiap menjelang mentari tiba, para burung-burung pemakan daging dan binatang buas lainnya datang dengan sigap, mengoyak daging-daging yang tak bisa bergerak.
Kenapa karena api? Apa memang demikian? Lagi-lagi membuat diam, segala konsepsi spekulatif akhirnya menemukan jawab sementara. Aku senang dengan hal-hal yang spekulatif. Walaupun kata-kata spekulatif itu membuat suatu istilah kambing hitam pada seorang, institusi atau lainnya. Lihat saja apa yang terjadi negeri ini, yang tak kunjung usai dari segala masalah, termasuk juga para pelatih yang pernah menangani Persib terkena juga istilah tersebut. Padahl, sains sekarang itu berasal dari pemikiran-pemikiran spekulatif. Hanya karena soal identitas saja, cenderung menafikan istilah spekulatif dan lebih mengedepankan kerasionalannya.
Kembali ke pertanyaan, apa karena api seorang itu dikutuk? jawabnya iya. Dengan api, seoarng ibu dapat memasak air dan mengerjakan tugasnya dengan baik sebagai seorang istri. Dengan api, para pengrajin logam, dapat menciptakan berbagai jenis peralatan yang dibutuhkan dalam peradaban manusia. Dengan api, mesin bermotor dapat bergerak. Api membuat suatu perubahan yang besar dalam kehidupan manusia, manusia kreatif. Karena api yang dicuri itu, Dewa takut kehilangan otoritasnya sebagai pemimpin alam semesta. Manusia menjadi berkuasa dan pandai, dengan pengorbanan. Selalu saja harus ada yang dikorbankan dalam setiap perubahan, kata-kata yang sering terdengar dalam diskusi mahasiswa ketika berbicara negara dan sekitarnya.
Lalu kenapa sampai berani mencuri api dewa dengan mengorbankan dirinya terkutuk seumur hidup, bahkan matinya pun dirayapi para burung? Lagi-lagi kujawab secara spekulatif, untuk dirinya dan yang bersentuhan dengannya. Otoritas Dewa pun pada akhirnya tertuju untuk dewa itu sendiri.
Setiap satuan individu pada akhirnya lebih terlihat egois, mementingkan dirinya sendiri, bahkan dewa sekalipun. Itu terlalu sederhana, seperti para penganut darwinisme, bahwa melihat gejala seperti ini adalah suatu keharusan daam kehidupan (seleksi alam), atau seorang filosof kenamaan menyebut homo homini lupus, manusia serigala bagi yang lainnya. Bukan egois, namun terlihat seperti gejala mental yang sederhana (praktis) dalam menyesuaikan hidupnya dengan yang lainnya, ada arti di dalamnya. Sehingga membuat selalu dalam proses menuju suatu yang baik dalam hidupnya.
Satu sisi manusia perlu bersikap praktis dengan perangkat yang ada dalam dirinya, dan disisi lain manusia perlu bersikap spekulatif dalam merumuskan sesuatu yang berarti untuk hidupnya. Apa maksudnya juga kita terus-terusan membaca buku dan merenung memikirkan sesuatu yang jelas adanya dan mungkin adanya di zaman sekarang yang cenderung lebih menitikberatkan kepraktisan dalam hidup? Terlebih lagi memikirkan suatu yang jauh disana, seperti para kaum agamawan.
Semua jawab berada dalam pikir kita masing-masing. Dan untuk apa kita jawab itu semua. Untuk diri pribadi. Terlepas arti yang diberikan pada diri kita itu bernilai atau tidak, kepraktisan dan spekulatif itu perlu dalam setiap detik detak jantung manusia. “hidup hanya menunda kekalahan”, ujar pujangga di negeri ini. Apa itu terlihat sisi egoisnya manusia? Kembali pada setumpuk daging yang bernama ‘aku’.

untuk ibuku. Manisi 22 januari 2011 (21.44)