Minggu, 13 Februari 2011

GERAK DALAM KETIDAKMENGERTIAN (sekedar pikiran sebelum tidur)

Di siang yang cerah, awan yang berganti di atas uban kepala, pikir aku yang bergerak berjalan sendiri dijalanan itu, mengundang segala bentuk permasalahan ketika gerak kaki susuri jalanan berdebu. Ku perhatikan langkah gerak kaki yang mulai gontai, ‘gerak’ memang selalu menjadi persoalan. Baik itu secara kata ‘gerak’ itu sendiri, maupun lanjutan dari kata ‘gerak’ itu. Sebenarnya persoalan yang cukup dasar dan harus menjadi perhatian penting, terutama buat diriku yang sekarang ini sedang dalam masa studi di Manisi, di UIN Bandung, di Aqidah Filsafat. ‘Gerak’, aku tak cukup paham itu.

Setiap manusia dalam gerak, selalu menuntut sesuatu akibat dari gerak itu. Sering mendengar dari para agamawan, bahwa kita sebagai manusia harus memperhatikan tingkah lakunya, supaya selamat di kehidupan nanti setelah kematian (akhirat), dan banyak ungkapan yang semakna dengan redaksi yang berbeda. Ini masalah dari kata ‘gerak’ itu sendiri. ‘Gerak’, aku tak paham itu.

Seorang mahasiswa pernah berujar, ‘setiap perubahan dalam suatu Bangsa atau Negara (revolusi), selalu ada yang dikorbankan’, terlepas pernyataan itu benar atau salah, namun ini persoalan dari kata ‘gerak’. ‘Gerak’ selalu berkelindan dengan kata ‘perubahan’, secara substansinya ataupun kategori lainnya. Apa sebenarnya arti dari kata ‘gerak’ itu? ‘Gerak’, aku tak cukup paham itu.

Selepas kuliah, matahari mulai surut terbenam, seperti halnya jarum di jam dingding yang mulai menukik ke bawah. Mencoba berjalan kaki kembali, entah apa yang terpikir? Akhir-akhir ini, aku sering sekali menghampiri sejumlah masalah hidup. Memang benar setiap, orang punya masalah jika dipikirkan lebih lanjut. Sehingga ada asumsi, bahwa masalah itu adalah ciri manusia hidup. Seorang teman membantah, bahwa ketika sudah matipun, jikalau seorang manusia sering berbuat salah (dosa), maka dia akan mendapat masalah setelah matinya. Sehingga masalah itu selalu hadir ketika hidup dan matinya seorang manusia. Apa memang demikian? Aku belum pernah merasakan kematian yang secara umum dipahami. Namun, terpikirnya apa itu masalah, terutama masalah hidupku, itu berawal dari ‘gerak’, aku memahaminya dari gerak pikiranku yang terbawa kemana saja. Apa kata ‘gerak’ juga menyangkut wilayah pikiran (ide), tidak hanya wilayah material(fisika) saja? ‘Gerak’, aku tak paham itu.

Masih dalam situasi berjalan kaki, menuju rumah seorang rekan. Sesampainya ditempat, seperti biasanya jamuan kopi hangat yang diisi berulang kali menjadi sahabat setia dalam setiap obrolan dengannya. Kopi itu berhenti dituangkan, jika tidak ada lagi kopi, obrolan selesai dan kembali pada kesibukan masing-masing atau aku pamit, juga sebaliknya. Obrolan yang tertuju pada wilayah aktivitasku di kampus ini, yang akhirnya aku tidak paham pasti harus apa selanjutnya, selain berupaya lebih giat lagi membaca, menulis dan berdiskusi.

‘Gerak’ tubuh yang aku tidak mengerti, aku sadar betul bahwa tidak selamanya setiap ‘gerak’ tubuh ini membawa arti positif bagi diriku dan sekelilingku. Karena itu, saran, kritik, bahkan hujatan akan aku terima dengan baik. Termasuk pada tulisan ini.



Setumpuk tulang berbalut gumpalan daging yang berusaha ingin sedikit memahami hidup.

Manisi, 11 Februari 2011

03.37 WTB (waktu timur bandung)

DOGMA BERTAHAN HIDUP

Mudah sekali untuk berkata bahwa Agama adalah sumber segalanya, tanpa pernah tahu akan kegunaannya bagi kehidupan manusia secara mendasar. Paling sederhana agama ditafsir sebagai perekat hidup sosial diantara manusia. Dan ini sudah sering dikatakan oleh beberapa pemerhati agama. Pertanyaannya, apakah agama memang dibutuhkan?
Sewaktu kuliah pada tingkat pertama, ada bahasan naluri beragama pada manusia. Kebetulan saya ditugasi sebagai pemakalah pada kuliah tersebut. Ada bahasan menarik, yaitu bahwa naluri beragama adalah suatu naluri yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya, seperti hewan dan tumbuhan, mungkin juga termasuk alien yang minggu-minggu kemarin ramai dibicarakan di stasiun televisi.
Seperti yang kita ketahui, dan sering sekali dijadikan argumen bahwa perbedaan manusia dengan hewan terletak di akalnya. Lalu asumsi yang lain, bahwa naluri beragama hanya dimiliki oleh manusia saja. Artinya hewan tidak punya naluri beragama. Pertanyaannya, apakah naluri beragama ini adalah akal itu sendiri atau bagian lain dari akal? Pertanyaan yang sewaktu kuliah tidak terpikirkan.
Sejenak kita beralih ke pengalaman saya ketika suatu waktu melihat ular berusaha menghindar dari kejaran anjing-anjing yang dipelihara oleh penduduk. Sejenis ular kobra, ular yang bisa dibilang berbisa racunnya. Namun ketika itu, ular tersebut lebih memilih lari atau tepatnya menjauh dengan cepat dari kejaran anjing-anjing yang ketika itu ada sekitar 4 ekor anjing. Beberapa saat, saya mencoba mengamati dan merenungkan hal tersebut. Kenapa ular tersebut tidak melawan anjing itu. Yang sangka saya mungkin tiap seekor anjing sekali pacok aja, anjing-anjing itu sudah jatuh terkena bisa ular tersebut. Kenapa juga harus melarikan diri?
Sampai akhirnya, saya berkesimpulan, bahwa ular pun punya pertimbangan lain. Sering dibahas ketika di SMA dulu, bahwa hewan punya naluri mempertahankan diri dari musuhnya. Contoh yang sering diungkap adalah ubur-ubur di laut dan cumi-cumi dengan tinta di mulutnya. Penuh pertimbangan, dan saya rasa ular atau hewan lainnya punya sejenis akal yang sanggup berpikir cepat dalam kondisi tertentu. Rasa kagum memikirkan hal tersebut.
Untuk hidup di bumi ini, setiap makhluk mempertahankan dirinya sebisa mungkin. Ada yang mempunyai racun atau sejenis senjata, ada juga yang memilih hidup berkelompok. Tidak lain, hanya untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunannya sampai berabad-abad. Sehingga ada untuk bahan cerita pada anak cucunya di kemudian hari tentang kuatnya hidup nenek moyang dulu. Konon manusia zaman dulu, punya berbagai cerita-cerita yang bisa dibanggakan dalam suatu kelompok tertentu.
Rasio terendah yang dimiliki manusia, begitulah saya mendapat pernyataan yang dicetuskan oleh salah seorang pemikir. Bertahan hidup adalah hal yang sangat prinsipil pada makhluk hidup. Walaupun kadang sering bertanya-tanya jika melihat laron-laron yang suka keluar di malam hari dan mendekati sumber cahaya, atau nyamuk-nyamuk kecil yang sekilas tanpa pikiran untuk mendapatkan setetes darah segar. Mungkin saja nyamuk dan laron itu punya strategi lain untuk menjaga dirinya supaya tidak punah, saya tidak cukup mengerti karena memang belum pernah saya teliti dengan detail. Artinya, bahwa bertahan hidup dan menjaga dari kepunahan adalah suatu hal penting pada makhluk hidup. Apakah pada manusia sekarang demikian adanya?
Kembali ke persoalan. Alhasil. Ada indikasi yang secara tidak langsung bahwa naluri beragama dibutuhkan untuk mempertahankan hidupnya, dengan segala jenis aturan di dalamnya. Terlebih yang bersifat hubungan sesama manusia. Termasuk disinilah peran agama yang saya sedikit mengerti. Hidup berkelompok dan menjaga kelompok tersebut dari serangan kelompok lain, atau mungkin menyerang kelompok lain lebih awal demi eksistensinya dan kelestariannya di bumi ini. Sehingga menjadi kebanggaan buat diceritakan pada anak cucunya, walaupun darah basahi bumi.
Jawabnya, agama memang dibutuhkan dengan sangat demi kepentingan kelestarian suatu spesies tertentu. Sayangnya kita hanya belajar dari hewan yang cenderung menyerang secara berkelompok, seperti anjing, dan tidak belajar dari hewan yang penuh pertimbangan kelemahan yang ada pada dirinya walaupun sebenarnya punya bisa yang mematikan, seperti ular yang diceritakan.”Tak ada yang begitu amat mengena di hati selain rasa manis yang muncul dari isak tangis bersama”, ungkap seorang manusia. Bersama, kita hancurkan mereka.
Sedikit penuh misteri. Apa demikian yang kita kehendaki.

Sedikit waktu yang merenung dangkal di tengah lautan dalam.
Manisi. 13-02-2011 22.07 WTB (Waktu Timur Bandung)