Kamis, 28 Februari 2013

Aku Tak Ingin Kenal dengan Maulana dan Ki Lalat Socrates



Dua orang ini membahayakan, begitulah orang-orang sekitar berbicara dan sesekali mencoba menasehatiku. Jika kau mengenalnya, segeralah menjauh darinya.

Awal berada di kampus ini, aku tak pernah membayangkan bisa ketemu dengan dua orang yang dianggap berbahaya itu, hari demi hari berlanjut. Tidak ada masalah, tak ada yang disebutkan itu, berbahaya. Baiklah aku akan menceritakannya satu orang-satu orang.

Berawal dari Maulana, senyumnya ikut menginspirasi untuk tersenyum juga. Tawanya itu tak karuan, seenak hati saja. Dia menikmati tawanya, yang kadang membuatku iri. Apa yang disampaikan bisa aku mengerti (kadang-kadang tidak) dan membuatku tambah bersemangat untuk terus belajar. Hujan besar sore hari, dia datang dengan jas hujannya, dengan ujung celana yang basah, lalu memesan rook, kopi, dan sedikit cemilan, mencari kelas, mulailah dia terangkan apa yang disebut pengetahuan.

Metode belajarnya, terutama membuat peta pikiran (mind map), kupakai sampai saat ini untuk mengenali buku dan mendengar ucapan yang lain. Itu cara berpikir ! tegasnya. Dan aku mulai merasakan enak betul ketika menjelaskan suatu hal. Aku tularkan pada yang lain, mereka pun senang.

Maulana, begitulah dia disebut orang banyak, orangnya serius, aku pun menikmati keseriusan itu. Ya, sebenarnya aku sering tak kuat dan terlalu sering juga mengomel pada diri sendiri. Suatu waktu, aku dituduh hanya main-main saja dalam belajar. Aku tak terima. Aku serius, sama seperti dia ketika mengajar. Aku memang tak bisa menulis, tapi aku akan belajar untuk menulis. Aku menulis dengan caraku sendiri, dan kapanpun aku mau, gumamku dalam hati. Aku akan menulis.

Maulana pergi, mungkin dia bosan melihatku malas-malasan. Aku tau, dia dibutuhkan orang banyak. Tak mungkin dia memikirkan aku seorang yang malas. Dia memikirkan banyak hal. Sekarang aku ingin berbeda dengannya, aku akan berpikir tentang diriku sendiri yang malas-malasan..

Pelajaran terakhir yang aku dapat darinya, adalah tentang prasangka baik dan jelek. Aku meraskan bagian terdalamnya dari pelajaran itu. Aku tau dia akan kembali setelah selesai dengan pertapaannya dan urusan-urusannya. Aku akan menunggunya sambil menyiapkan diri untuk menerima tawanya, metodenya yang gampang dipraktikkan itu, pengalamannya yang sarat luas pengetahuan dan apapun yang ada padanya. Setibanya dia, aku akan yakinkan dia, kalau aku bisa menulis sesuai dengan seleraku menulis.

Sekarang, Ki Lalat Socrates, nama yang selalu menemani perjalanan kehidupan di kota ini. Baik ketika aku sedih maupun ketika sedang bahagia. Walaupun seringkali aku datang dan merasa butuh ketika kesedihan hebat menderaku. Ketika senang, aku hanya mengingat, jarang untuk mendatangi. Dan aku harus tinggalkan cara bersikap seperti itu.

Dan aku paham, bahwa nama yang disandangnya itu sangat pas sekali, Ki Lalat Socrates. Dia memang penutur kehidupan, spesifik lagi, penutur makna kehidupan. Seperti Socrates, yang tak pernah lelah merenungkan tentang kehidupan. Bertanya tentang hal-hal yang jarang ditanyakan. Apa itu baik? Apa itu buruk? Apa itu kebaikan? Apa itu kejahatan? Apa itu bersyukur? Apa itu keyakinan? Apa itu kebenaran? Apa itu Tuhan? Dengan sederet tanya lainnya yang mengitari kehidupan ini. Aku selalu mengiyakan apa yang dikatakannya, karena memang begitu adanya.

Namun adakalanya konsekuensi dari mengetahui itu yang memang sulit diterima. Seperti suatu waktu dia mengatakan tentang makna kebenaran, ‘kebenaran adalah suatu hal yang begitu ditakuti dan kita akan menyiapkan seribu alas an untuk menolaknya, atau bahkan membunuhnya jika kebenaran itu berwujud manusia’. Tak ada jalan lain dengan pikiran yang menohok seperti itu, karena memang dalam diri ini seperti kata-katanya itu.

Jika berdiskusi dengannya, diskusi yang bisa sampai berlarut-larut, tak harus banyak makanan, cukup kopi dan cadangan rokok saja agar bisa menahan rasa kantuk. Terkadang secangkir kopi pun dinikmati bersama-sama. Sikapnya itu tidak membuat canggung ketika bersama dengannya. Dalam beberapa kesempatan, saya bisa saja tidak kontrol diri, berbicara seenakanya. Namun dia enjoy aja seperti sedang menikmati nada-nada Mozart. Tinggi rendahnya nada di alami dan dinikmati dengan penuh rasa syukur.

Hal yang penting, yang didapat selama bersamanya adalah tentang kata ‘makna’. Kata yang membuatku kadang merasa awas ketika mendapat kebahagiaan ataupun kesedihan. Kata yang membuatku bertanya-tanya dalam segala peristiwa kehidupan ini. Kata yang membuatku penasaran terhadap metode hermeneutic, walaupun sekarang belum dipelajari dengan baik. Dari makna-makna itulah aku sering menghubungkan satu dengan liannya tindakan-tindakanku, disitulah aku bisa menilai diri ini. Kalau aku ini ? bla-bla-bla…

Hal lain yang tak kalah pentingnya, yang aku ingat dari dia adalah tentang kejujuran. Kejujuran menerima kondisi diri. Aku tidak dipaksa untuk bercerita, dia memposisikan aku sebagai teman karibnya. Maka mulailah dia menceritakan pengalaman hidupnya. Ya, dia pencerita yang baik, karena kau bisa seakan mengalami apa yang dia alami. Maka mulailah aku pun tak canggung untuk menceritakan apa yang kuhadapi sekarang dan pengalaman-pengalaman  dulu yang membentukku sekarang ini. Aku belajar banyak dengan cara seperti itu.

Akhirnya aku sependapat dengan orang lain itu, bahwa keduanya ‘berbahaya’. Baik ketika didekatnya, sedang berdiskusi dengannya, atau ketika tidak bersamanya. Tanda tanya ini selalu menghantui pada saat-saat tertentu. Mereka selalu membuat tanya, selalu menjerumuskan pada jurang gelap yang dalam. Hadi atau tak hadir, tidak lagi berpengaruh. Suaranya datang secara tiba-tiba.

Maulana dalam mimpiku, memakai baju putih sarung putih, mendekat dan bersila dihadapanku, menanyakan kabarku? Menanyakan buku apa saja yang sudah dibaca hari ini? Menanyakan tentang tulisanku yang masih acak-acakan. Dan tak pernah menanyakan tentang perutku. Dan aku pun paham kenapa dia tidak bertanya tentang  hal itu.

Lalu, Ki Lalat Socrates, seperti namanya seekor lalat, selalu mengganggu dalam lamunan siangku, dalam tidur siangku dan setiap disaat aku mau mulai mengaso di sore atau malam menjelang subuh. Hinggap di hidungku sambil melotot, seringnya sambil tersenyum dan bertanya kepadaku dengan suara jelas, apa kamu sudah berani untuk menjalani hidup? Lalu pergi sambil tertawa dan hanya itu yang ditanyakan, tak ada yang lain. Membuat bingung dan menelanjangi suatu hal adalah tugasnya.

Alhasil, aku mengamini judul tulisan ini. Aku tak ingin kenal dengan Maulana dan Ki Lalat Socrates. Banyak orang yang kenal denganku, namun mereka tak memahamiku. Begitupun dengan Maulana dan Ki Lalat Socrates, banyak yang mengenalnya dan mengakui kecerdasannya, tapi mereka tak ingin dekat dengannya, tak ingin meminta pikirannya, karena tak ingin diganggu perutnya. Ya, takut akan kata kebenaran, takut tidak dapat hidup dengan kata kebenaran.

Aku tak hanya ingin kenal saja dengan Maulana dan Ki Lalat Socrates, aku ingin selalu berada dalam samudranya, terombang-ambing seakan perahu tanpa layar. Namun, suatu saat aku yakin daratan itu pasti kujamahi dengan kaki yang kuat.
Kenal saja tak cukup, aku selalu rindu dengan keduanya.


Taman Baca Sophia, 28 Februari 2013 jam 20.00 WIB