Dua orang ini membahayakan, begitulah orang-orang sekitar
berbicara dan sesekali mencoba menasehatiku. Jika kau mengenalnya, segeralah
menjauh darinya.
Awal berada di kampus ini, aku tak pernah membayangkan bisa
ketemu dengan dua orang yang dianggap berbahaya itu, hari demi hari berlanjut.
Tidak ada masalah, tak ada yang disebutkan itu, berbahaya. Baiklah aku akan
menceritakannya satu orang-satu orang.
Berawal dari Maulana, senyumnya ikut menginspirasi untuk
tersenyum juga. Tawanya itu tak karuan, seenak hati saja. Dia menikmati
tawanya, yang kadang membuatku iri. Apa yang disampaikan bisa aku mengerti (kadang-kadang
tidak) dan membuatku tambah bersemangat untuk terus belajar. Hujan besar sore
hari, dia datang dengan jas hujannya, dengan ujung celana yang basah, lalu
memesan rook, kopi, dan sedikit cemilan, mencari kelas, mulailah dia terangkan
apa yang disebut pengetahuan.
Metode belajarnya, terutama membuat peta pikiran (mind map),
kupakai sampai saat ini untuk mengenali buku dan mendengar ucapan yang lain.
Itu cara berpikir ! tegasnya. Dan aku mulai merasakan enak betul ketika
menjelaskan suatu hal. Aku tularkan pada yang lain, mereka pun senang.
Maulana, begitulah dia disebut orang banyak, orangnya
serius, aku pun menikmati keseriusan itu. Ya, sebenarnya aku sering tak kuat
dan terlalu sering juga mengomel pada diri sendiri. Suatu waktu, aku dituduh
hanya main-main saja dalam belajar. Aku tak terima. Aku serius, sama seperti
dia ketika mengajar. Aku memang tak bisa menulis, tapi aku akan belajar untuk
menulis. Aku menulis dengan caraku sendiri, dan kapanpun aku mau, gumamku dalam
hati. Aku akan menulis.
Maulana pergi, mungkin dia bosan melihatku malas-malasan.
Aku tau, dia dibutuhkan orang banyak. Tak mungkin dia memikirkan aku seorang
yang malas. Dia memikirkan banyak hal. Sekarang aku ingin berbeda dengannya,
aku akan berpikir tentang diriku sendiri yang malas-malasan..
Pelajaran terakhir yang aku dapat darinya, adalah tentang
prasangka baik dan jelek. Aku meraskan bagian terdalamnya dari pelajaran itu.
Aku tau dia akan kembali setelah selesai dengan pertapaannya dan
urusan-urusannya. Aku akan menunggunya sambil menyiapkan diri untuk menerima
tawanya, metodenya yang gampang dipraktikkan itu, pengalamannya yang sarat luas
pengetahuan dan apapun yang ada padanya. Setibanya dia, aku akan yakinkan dia,
kalau aku bisa menulis sesuai dengan seleraku menulis.
Sekarang, Ki Lalat Socrates, nama yang selalu menemani
perjalanan kehidupan di kota ini. Baik ketika aku sedih maupun ketika sedang
bahagia. Walaupun seringkali aku datang dan merasa butuh ketika kesedihan hebat
menderaku. Ketika senang, aku hanya mengingat, jarang untuk mendatangi. Dan aku
harus tinggalkan cara bersikap seperti itu.
Dan aku paham, bahwa nama yang disandangnya itu sangat pas
sekali, Ki Lalat Socrates. Dia memang penutur kehidupan, spesifik lagi, penutur
makna kehidupan. Seperti Socrates, yang tak pernah lelah merenungkan tentang
kehidupan. Bertanya tentang hal-hal yang jarang ditanyakan. Apa itu baik? Apa
itu buruk? Apa itu kebaikan? Apa itu kejahatan? Apa itu bersyukur? Apa itu
keyakinan? Apa itu kebenaran? Apa itu Tuhan? Dengan sederet tanya lainnya yang
mengitari kehidupan ini. Aku selalu mengiyakan apa yang dikatakannya, karena
memang begitu adanya.
Namun adakalanya konsekuensi dari mengetahui itu yang memang
sulit diterima. Seperti suatu waktu dia mengatakan tentang makna kebenaran,
‘kebenaran adalah suatu hal yang begitu ditakuti dan kita akan menyiapkan
seribu alas an untuk menolaknya, atau bahkan membunuhnya jika kebenaran itu
berwujud manusia’. Tak ada jalan lain dengan pikiran yang menohok seperti itu,
karena memang dalam diri ini seperti kata-katanya itu.
Jika berdiskusi dengannya, diskusi yang bisa sampai
berlarut-larut, tak harus banyak makanan, cukup kopi dan cadangan rokok saja
agar bisa menahan rasa kantuk. Terkadang secangkir kopi pun dinikmati
bersama-sama. Sikapnya itu tidak membuat canggung ketika bersama dengannya.
Dalam beberapa kesempatan, saya bisa saja tidak kontrol diri, berbicara
seenakanya. Namun dia enjoy aja seperti sedang menikmati nada-nada Mozart.
Tinggi rendahnya nada di alami dan dinikmati dengan penuh rasa syukur.
Hal yang penting, yang didapat selama bersamanya adalah
tentang kata ‘makna’. Kata yang membuatku kadang merasa awas ketika mendapat
kebahagiaan ataupun kesedihan. Kata yang membuatku bertanya-tanya dalam segala
peristiwa kehidupan ini. Kata yang membuatku penasaran terhadap metode
hermeneutic, walaupun sekarang belum dipelajari dengan baik. Dari makna-makna
itulah aku sering menghubungkan satu dengan liannya tindakan-tindakanku,
disitulah aku bisa menilai diri ini. Kalau aku ini ? bla-bla-bla…
Hal lain yang tak kalah pentingnya, yang aku ingat dari dia
adalah tentang kejujuran. Kejujuran menerima kondisi diri. Aku tidak dipaksa
untuk bercerita, dia memposisikan aku sebagai teman karibnya. Maka mulailah dia
menceritakan pengalaman hidupnya. Ya, dia pencerita yang baik, karena kau bisa
seakan mengalami apa yang dia alami. Maka mulailah aku pun tak canggung untuk
menceritakan apa yang kuhadapi sekarang dan pengalaman-pengalaman dulu yang membentukku sekarang ini. Aku belajar
banyak dengan cara seperti itu.
Akhirnya aku sependapat dengan orang lain itu, bahwa
keduanya ‘berbahaya’. Baik ketika didekatnya, sedang berdiskusi dengannya, atau
ketika tidak bersamanya. Tanda tanya ini selalu menghantui pada saat-saat
tertentu. Mereka selalu membuat tanya, selalu menjerumuskan pada jurang gelap
yang dalam. Hadi atau tak hadir, tidak lagi berpengaruh. Suaranya datang secara
tiba-tiba.
Maulana dalam mimpiku, memakai baju putih sarung putih,
mendekat dan bersila dihadapanku, menanyakan kabarku? Menanyakan buku apa
saja yang sudah dibaca hari ini? Menanyakan tentang tulisanku yang masih
acak-acakan. Dan tak pernah menanyakan tentang perutku. Dan aku pun paham
kenapa dia tidak bertanya tentang hal
itu.
Lalu, Ki Lalat Socrates, seperti namanya seekor lalat,
selalu mengganggu dalam lamunan siangku, dalam tidur siangku dan setiap disaat
aku mau mulai mengaso di sore atau malam menjelang subuh. Hinggap di hidungku
sambil melotot, seringnya sambil tersenyum dan bertanya kepadaku dengan suara
jelas, apa kamu sudah berani untuk menjalani hidup? Lalu pergi sambil
tertawa dan hanya itu yang ditanyakan, tak ada yang lain. Membuat bingung dan
menelanjangi suatu hal adalah tugasnya.
Alhasil, aku mengamini judul tulisan ini. Aku tak ingin
kenal dengan Maulana dan Ki Lalat Socrates. Banyak orang yang kenal denganku,
namun mereka tak memahamiku. Begitupun dengan Maulana dan Ki Lalat Socrates,
banyak yang mengenalnya dan mengakui kecerdasannya, tapi mereka tak ingin dekat
dengannya, tak ingin meminta pikirannya, karena tak ingin diganggu perutnya.
Ya, takut akan kata kebenaran, takut tidak dapat hidup dengan kata kebenaran.
Aku tak hanya ingin kenal saja dengan Maulana dan Ki Lalat
Socrates, aku ingin selalu berada dalam samudranya, terombang-ambing seakan
perahu tanpa layar. Namun, suatu saat aku yakin daratan itu pasti kujamahi
dengan kaki yang kuat.
Kenal saja tak cukup, aku selalu rindu dengan keduanya.
Taman Baca Sophia, 28 Februari 2013 jam 20.00 WIB