Di siang yang cerah, awan yang berganti di atas uban kepala, pikir aku yang bergerak berjalan sendiri dijalanan itu, mengundang segala bentuk permasalahan ketika gerak kaki susuri jalanan berdebu. Ku perhatikan langkah gerak kaki yang mulai gontai, ‘gerak’ memang selalu menjadi persoalan. Baik itu secara kata ‘gerak’ itu sendiri, maupun lanjutan dari kata ‘gerak’ itu. Sebenarnya persoalan yang cukup dasar dan harus menjadi perhatian penting, terutama buat diriku yang sekarang ini sedang dalam masa studi di Manisi, di UIN Bandung, di Aqidah Filsafat. ‘Gerak’, aku tak cukup paham itu.
Setiap manusia dalam gerak, selalu menuntut sesuatu akibat dari gerak itu. Sering mendengar dari para agamawan, bahwa kita sebagai manusia harus memperhatikan tingkah lakunya, supaya selamat di kehidupan nanti setelah kematian (akhirat), dan banyak ungkapan yang semakna dengan redaksi yang berbeda. Ini masalah dari kata ‘gerak’ itu sendiri. ‘Gerak’, aku tak paham itu.
Seorang mahasiswa pernah berujar, ‘setiap perubahan dalam suatu Bangsa atau Negara (revolusi), selalu ada yang dikorbankan’, terlepas pernyataan itu benar atau salah, namun ini persoalan dari kata ‘gerak’. ‘Gerak’ selalu berkelindan dengan kata ‘perubahan’, secara substansinya ataupun kategori lainnya. Apa sebenarnya arti dari kata ‘gerak’ itu? ‘Gerak’, aku tak cukup paham itu.
Selepas kuliah, matahari mulai surut terbenam, seperti halnya jarum di jam dingding yang mulai menukik ke bawah. Mencoba berjalan kaki kembali, entah apa yang terpikir? Akhir-akhir ini, aku sering sekali menghampiri sejumlah masalah hidup. Memang benar setiap, orang punya masalah jika dipikirkan lebih lanjut. Sehingga ada asumsi, bahwa masalah itu adalah ciri manusia hidup. Seorang teman membantah, bahwa ketika sudah matipun, jikalau seorang manusia sering berbuat salah (dosa), maka dia akan mendapat masalah setelah matinya. Sehingga masalah itu selalu hadir ketika hidup dan matinya seorang manusia. Apa memang demikian? Aku belum pernah merasakan kematian yang secara umum dipahami. Namun, terpikirnya apa itu masalah, terutama masalah hidupku, itu berawal dari ‘gerak’, aku memahaminya dari gerak pikiranku yang terbawa kemana saja. Apa kata ‘gerak’ juga menyangkut wilayah pikiran (ide), tidak hanya wilayah material(fisika) saja? ‘Gerak’, aku tak paham itu.
Masih dalam situasi berjalan kaki, menuju rumah seorang rekan. Sesampainya ditempat, seperti biasanya jamuan kopi hangat yang diisi berulang kali menjadi sahabat setia dalam setiap obrolan dengannya. Kopi itu berhenti dituangkan, jika tidak ada lagi kopi, obrolan selesai dan kembali pada kesibukan masing-masing atau aku pamit, juga sebaliknya. Obrolan yang tertuju pada wilayah aktivitasku di kampus ini, yang akhirnya aku tidak paham pasti harus apa selanjutnya, selain berupaya lebih giat lagi membaca, menulis dan berdiskusi.
‘Gerak’ tubuh yang aku tidak mengerti, aku sadar betul bahwa tidak selamanya setiap ‘gerak’ tubuh ini membawa arti positif bagi diriku dan sekelilingku. Karena itu, saran, kritik, bahkan hujatan akan aku terima dengan baik. Termasuk pada tulisan ini.
Setumpuk tulang berbalut gumpalan daging yang berusaha ingin sedikit memahami hidup.
Manisi, 11 Februari 2011
03.37 WTB (waktu timur bandung)
Minggu, 13 Februari 2011
DOGMA BERTAHAN HIDUP
Mudah sekali untuk berkata bahwa Agama adalah sumber segalanya, tanpa pernah tahu akan kegunaannya bagi kehidupan manusia secara mendasar. Paling sederhana agama ditafsir sebagai perekat hidup sosial diantara manusia. Dan ini sudah sering dikatakan oleh beberapa pemerhati agama. Pertanyaannya, apakah agama memang dibutuhkan?
Sewaktu kuliah pada tingkat pertama, ada bahasan naluri beragama pada manusia. Kebetulan saya ditugasi sebagai pemakalah pada kuliah tersebut. Ada bahasan menarik, yaitu bahwa naluri beragama adalah suatu naluri yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya, seperti hewan dan tumbuhan, mungkin juga termasuk alien yang minggu-minggu kemarin ramai dibicarakan di stasiun televisi.
Seperti yang kita ketahui, dan sering sekali dijadikan argumen bahwa perbedaan manusia dengan hewan terletak di akalnya. Lalu asumsi yang lain, bahwa naluri beragama hanya dimiliki oleh manusia saja. Artinya hewan tidak punya naluri beragama. Pertanyaannya, apakah naluri beragama ini adalah akal itu sendiri atau bagian lain dari akal? Pertanyaan yang sewaktu kuliah tidak terpikirkan.
Sejenak kita beralih ke pengalaman saya ketika suatu waktu melihat ular berusaha menghindar dari kejaran anjing-anjing yang dipelihara oleh penduduk. Sejenis ular kobra, ular yang bisa dibilang berbisa racunnya. Namun ketika itu, ular tersebut lebih memilih lari atau tepatnya menjauh dengan cepat dari kejaran anjing-anjing yang ketika itu ada sekitar 4 ekor anjing. Beberapa saat, saya mencoba mengamati dan merenungkan hal tersebut. Kenapa ular tersebut tidak melawan anjing itu. Yang sangka saya mungkin tiap seekor anjing sekali pacok aja, anjing-anjing itu sudah jatuh terkena bisa ular tersebut. Kenapa juga harus melarikan diri?
Sampai akhirnya, saya berkesimpulan, bahwa ular pun punya pertimbangan lain. Sering dibahas ketika di SMA dulu, bahwa hewan punya naluri mempertahankan diri dari musuhnya. Contoh yang sering diungkap adalah ubur-ubur di laut dan cumi-cumi dengan tinta di mulutnya. Penuh pertimbangan, dan saya rasa ular atau hewan lainnya punya sejenis akal yang sanggup berpikir cepat dalam kondisi tertentu. Rasa kagum memikirkan hal tersebut.
Untuk hidup di bumi ini, setiap makhluk mempertahankan dirinya sebisa mungkin. Ada yang mempunyai racun atau sejenis senjata, ada juga yang memilih hidup berkelompok. Tidak lain, hanya untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunannya sampai berabad-abad. Sehingga ada untuk bahan cerita pada anak cucunya di kemudian hari tentang kuatnya hidup nenek moyang dulu. Konon manusia zaman dulu, punya berbagai cerita-cerita yang bisa dibanggakan dalam suatu kelompok tertentu.
Rasio terendah yang dimiliki manusia, begitulah saya mendapat pernyataan yang dicetuskan oleh salah seorang pemikir. Bertahan hidup adalah hal yang sangat prinsipil pada makhluk hidup. Walaupun kadang sering bertanya-tanya jika melihat laron-laron yang suka keluar di malam hari dan mendekati sumber cahaya, atau nyamuk-nyamuk kecil yang sekilas tanpa pikiran untuk mendapatkan setetes darah segar. Mungkin saja nyamuk dan laron itu punya strategi lain untuk menjaga dirinya supaya tidak punah, saya tidak cukup mengerti karena memang belum pernah saya teliti dengan detail. Artinya, bahwa bertahan hidup dan menjaga dari kepunahan adalah suatu hal penting pada makhluk hidup. Apakah pada manusia sekarang demikian adanya?
Kembali ke persoalan. Alhasil. Ada indikasi yang secara tidak langsung bahwa naluri beragama dibutuhkan untuk mempertahankan hidupnya, dengan segala jenis aturan di dalamnya. Terlebih yang bersifat hubungan sesama manusia. Termasuk disinilah peran agama yang saya sedikit mengerti. Hidup berkelompok dan menjaga kelompok tersebut dari serangan kelompok lain, atau mungkin menyerang kelompok lain lebih awal demi eksistensinya dan kelestariannya di bumi ini. Sehingga menjadi kebanggaan buat diceritakan pada anak cucunya, walaupun darah basahi bumi.
Jawabnya, agama memang dibutuhkan dengan sangat demi kepentingan kelestarian suatu spesies tertentu. Sayangnya kita hanya belajar dari hewan yang cenderung menyerang secara berkelompok, seperti anjing, dan tidak belajar dari hewan yang penuh pertimbangan kelemahan yang ada pada dirinya walaupun sebenarnya punya bisa yang mematikan, seperti ular yang diceritakan.”Tak ada yang begitu amat mengena di hati selain rasa manis yang muncul dari isak tangis bersama”, ungkap seorang manusia. Bersama, kita hancurkan mereka.
Sedikit penuh misteri. Apa demikian yang kita kehendaki.
Sedikit waktu yang merenung dangkal di tengah lautan dalam.
Manisi. 13-02-2011 22.07 WTB (Waktu Timur Bandung)
Sewaktu kuliah pada tingkat pertama, ada bahasan naluri beragama pada manusia. Kebetulan saya ditugasi sebagai pemakalah pada kuliah tersebut. Ada bahasan menarik, yaitu bahwa naluri beragama adalah suatu naluri yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya, seperti hewan dan tumbuhan, mungkin juga termasuk alien yang minggu-minggu kemarin ramai dibicarakan di stasiun televisi.
Seperti yang kita ketahui, dan sering sekali dijadikan argumen bahwa perbedaan manusia dengan hewan terletak di akalnya. Lalu asumsi yang lain, bahwa naluri beragama hanya dimiliki oleh manusia saja. Artinya hewan tidak punya naluri beragama. Pertanyaannya, apakah naluri beragama ini adalah akal itu sendiri atau bagian lain dari akal? Pertanyaan yang sewaktu kuliah tidak terpikirkan.
Sejenak kita beralih ke pengalaman saya ketika suatu waktu melihat ular berusaha menghindar dari kejaran anjing-anjing yang dipelihara oleh penduduk. Sejenis ular kobra, ular yang bisa dibilang berbisa racunnya. Namun ketika itu, ular tersebut lebih memilih lari atau tepatnya menjauh dengan cepat dari kejaran anjing-anjing yang ketika itu ada sekitar 4 ekor anjing. Beberapa saat, saya mencoba mengamati dan merenungkan hal tersebut. Kenapa ular tersebut tidak melawan anjing itu. Yang sangka saya mungkin tiap seekor anjing sekali pacok aja, anjing-anjing itu sudah jatuh terkena bisa ular tersebut. Kenapa juga harus melarikan diri?
Sampai akhirnya, saya berkesimpulan, bahwa ular pun punya pertimbangan lain. Sering dibahas ketika di SMA dulu, bahwa hewan punya naluri mempertahankan diri dari musuhnya. Contoh yang sering diungkap adalah ubur-ubur di laut dan cumi-cumi dengan tinta di mulutnya. Penuh pertimbangan, dan saya rasa ular atau hewan lainnya punya sejenis akal yang sanggup berpikir cepat dalam kondisi tertentu. Rasa kagum memikirkan hal tersebut.
Untuk hidup di bumi ini, setiap makhluk mempertahankan dirinya sebisa mungkin. Ada yang mempunyai racun atau sejenis senjata, ada juga yang memilih hidup berkelompok. Tidak lain, hanya untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunannya sampai berabad-abad. Sehingga ada untuk bahan cerita pada anak cucunya di kemudian hari tentang kuatnya hidup nenek moyang dulu. Konon manusia zaman dulu, punya berbagai cerita-cerita yang bisa dibanggakan dalam suatu kelompok tertentu.
Rasio terendah yang dimiliki manusia, begitulah saya mendapat pernyataan yang dicetuskan oleh salah seorang pemikir. Bertahan hidup adalah hal yang sangat prinsipil pada makhluk hidup. Walaupun kadang sering bertanya-tanya jika melihat laron-laron yang suka keluar di malam hari dan mendekati sumber cahaya, atau nyamuk-nyamuk kecil yang sekilas tanpa pikiran untuk mendapatkan setetes darah segar. Mungkin saja nyamuk dan laron itu punya strategi lain untuk menjaga dirinya supaya tidak punah, saya tidak cukup mengerti karena memang belum pernah saya teliti dengan detail. Artinya, bahwa bertahan hidup dan menjaga dari kepunahan adalah suatu hal penting pada makhluk hidup. Apakah pada manusia sekarang demikian adanya?
Kembali ke persoalan. Alhasil. Ada indikasi yang secara tidak langsung bahwa naluri beragama dibutuhkan untuk mempertahankan hidupnya, dengan segala jenis aturan di dalamnya. Terlebih yang bersifat hubungan sesama manusia. Termasuk disinilah peran agama yang saya sedikit mengerti. Hidup berkelompok dan menjaga kelompok tersebut dari serangan kelompok lain, atau mungkin menyerang kelompok lain lebih awal demi eksistensinya dan kelestariannya di bumi ini. Sehingga menjadi kebanggaan buat diceritakan pada anak cucunya, walaupun darah basahi bumi.
Jawabnya, agama memang dibutuhkan dengan sangat demi kepentingan kelestarian suatu spesies tertentu. Sayangnya kita hanya belajar dari hewan yang cenderung menyerang secara berkelompok, seperti anjing, dan tidak belajar dari hewan yang penuh pertimbangan kelemahan yang ada pada dirinya walaupun sebenarnya punya bisa yang mematikan, seperti ular yang diceritakan.”Tak ada yang begitu amat mengena di hati selain rasa manis yang muncul dari isak tangis bersama”, ungkap seorang manusia. Bersama, kita hancurkan mereka.
Sedikit penuh misteri. Apa demikian yang kita kehendaki.
Sedikit waktu yang merenung dangkal di tengah lautan dalam.
Manisi. 13-02-2011 22.07 WTB (Waktu Timur Bandung)
Sabtu, 22 Januari 2011
Gumamanku 1
Ketika malam bersambut, rasa lelah meyertai setiap hentakan kaki. Tidak seperti biasanya, timbul keinginan untuk sedikit kilas balik terhadap apa-apa yang sudah kulakukan sampai sekarang ini. Ada saja, suatu waktu seseorang teman pernah bertanya, untuk apa kulakukan semua ini? Sampai sekarang ini? Banyak jawaban dalam pikirku, yang tak sempat terucap langsung padanya, hanya melebarnya bibir yang kuarahkan padanya. Sejauh apa yang melekat dalam diriku, dan setiap jawabku akan dianggap baik dan benar oleh setiap satuan yang menghampiriku. Sebanyak satuan subjek yang bendawi dan nirbendawi (konsepsi). Sampai seorang teman itu hilang ditelan waktu matahari, hingga tiba rembulan menampakan senyumnya, gumaman jawaban masih saja menemani dengan hangat dan penuh mesra, disertai panacea hitam, sorot mata tetap saja awas akibatnya. bermuara untuk saat ini pada satu jawab yang tidak beralasan pasti, untuk diriku. Ya, semuanya untuk diriku. Jauh dekat pandanganku, untuk-ku. Luas sempit injak telapak kakiku, karena-ku. Apapun itu semua, untuk diri-ku yang berdiam bisu. Bisuku, untuk-ku.
Tekanan balpoint hitam pada secarik kertas, dari tangan yang sedikit berhias hitam pula. Sampai perdetik lewat begitu saja, alhasil sebuah coret. Arti diri sepenuhnya, ada dalam diri-ku. Dan setiap yang tergores akan memberikan arti, untuk siapa? Untuk siapa yang bersentuhan.
Buku-buku yang hadirnya memberi pilihan terlebih dahulu. Penulisnya kebanyakan tak pernah bertemu. Hanya harap untuk temu, dan ini berkaitan dengan arti pada diri penulis dan yang terkena oleh olehnya (buku-buku). Ya, kurasa memang demikian.
Seorang mahasiswa memberanikan diri untuk mencoba bermenit-menit melihat tumpukan kertas. Jenuh, dering telepon genggam, siaran kotak bergerak bergambar, janji dengan teman ataupun segala hasrat lainnya menghaampiri perdetiknya. Lalu, timbul tanya dari sekitarku, apa maksudnya? Aku juga tak paham. Jawabnya, hanya berusaha memilah salah satu ingin diantara puluhan keinginan. Untuk siapa? Jelas, untuk diri yang pemberani diantara pemberani yang mempunyai hasrat melakukan sesuatu.
Teringat pada cerita seorang yang dikutuk oleh Dewa, gara-gara mencuri api dari tempat dewa itu bersemayam tenang. Gelisah Dewa membuat korban, seorang yang dikutuk. Apa alasan dia dikutuk? Tentunya, naif sekali kalau saja alasannya karena mencuri. Memangnya manusia biasa yang suka menghukum melebihi kadar dari kesalahan atau lebih tepatnya bertindak seolah dewa. Tidak, Dewa tidak seperti itu. Api yang diberikan kepada umat manusia, harus ditebus dengan kutukan, terhimpit diantara bebatuan besar. Dan setiap menjelang mentari tiba, para burung-burung pemakan daging dan binatang buas lainnya datang dengan sigap, mengoyak daging-daging yang tak bisa bergerak.
Kenapa karena api? Apa memang demikian? Lagi-lagi membuat diam, segala konsepsi spekulatif akhirnya menemukan jawab sementara. Aku senang dengan hal-hal yang spekulatif. Walaupun kata-kata spekulatif itu membuat suatu istilah kambing hitam pada seorang, institusi atau lainnya. Lihat saja apa yang terjadi negeri ini, yang tak kunjung usai dari segala masalah, termasuk juga para pelatih yang pernah menangani Persib terkena juga istilah tersebut. Padahl, sains sekarang itu berasal dari pemikiran-pemikiran spekulatif. Hanya karena soal identitas saja, cenderung menafikan istilah spekulatif dan lebih mengedepankan kerasionalannya.
Kembali ke pertanyaan, apa karena api seorang itu dikutuk? jawabnya iya. Dengan api, seoarng ibu dapat memasak air dan mengerjakan tugasnya dengan baik sebagai seorang istri. Dengan api, para pengrajin logam, dapat menciptakan berbagai jenis peralatan yang dibutuhkan dalam peradaban manusia. Dengan api, mesin bermotor dapat bergerak. Api membuat suatu perubahan yang besar dalam kehidupan manusia, manusia kreatif. Karena api yang dicuri itu, Dewa takut kehilangan otoritasnya sebagai pemimpin alam semesta. Manusia menjadi berkuasa dan pandai, dengan pengorbanan. Selalu saja harus ada yang dikorbankan dalam setiap perubahan, kata-kata yang sering terdengar dalam diskusi mahasiswa ketika berbicara negara dan sekitarnya.
Lalu kenapa sampai berani mencuri api dewa dengan mengorbankan dirinya terkutuk seumur hidup, bahkan matinya pun dirayapi para burung? Lagi-lagi kujawab secara spekulatif, untuk dirinya dan yang bersentuhan dengannya. Otoritas Dewa pun pada akhirnya tertuju untuk dewa itu sendiri.
Setiap satuan individu pada akhirnya lebih terlihat egois, mementingkan dirinya sendiri, bahkan dewa sekalipun. Itu terlalu sederhana, seperti para penganut darwinisme, bahwa melihat gejala seperti ini adalah suatu keharusan daam kehidupan (seleksi alam), atau seorang filosof kenamaan menyebut homo homini lupus, manusia serigala bagi yang lainnya. Bukan egois, namun terlihat seperti gejala mental yang sederhana (praktis) dalam menyesuaikan hidupnya dengan yang lainnya, ada arti di dalamnya. Sehingga membuat selalu dalam proses menuju suatu yang baik dalam hidupnya.
Satu sisi manusia perlu bersikap praktis dengan perangkat yang ada dalam dirinya, dan disisi lain manusia perlu bersikap spekulatif dalam merumuskan sesuatu yang berarti untuk hidupnya. Apa maksudnya juga kita terus-terusan membaca buku dan merenung memikirkan sesuatu yang jelas adanya dan mungkin adanya di zaman sekarang yang cenderung lebih menitikberatkan kepraktisan dalam hidup? Terlebih lagi memikirkan suatu yang jauh disana, seperti para kaum agamawan.
Semua jawab berada dalam pikir kita masing-masing. Dan untuk apa kita jawab itu semua. Untuk diri pribadi. Terlepas arti yang diberikan pada diri kita itu bernilai atau tidak, kepraktisan dan spekulatif itu perlu dalam setiap detik detak jantung manusia. “hidup hanya menunda kekalahan”, ujar pujangga di negeri ini. Apa itu terlihat sisi egoisnya manusia? Kembali pada setumpuk daging yang bernama ‘aku’.
untuk ibuku. Manisi 22 januari 2011 (21.44)
Ketika malam bersambut, rasa lelah meyertai setiap hentakan kaki. Tidak seperti biasanya, timbul keinginan untuk sedikit kilas balik terhadap apa-apa yang sudah kulakukan sampai sekarang ini. Ada saja, suatu waktu seseorang teman pernah bertanya, untuk apa kulakukan semua ini? Sampai sekarang ini? Banyak jawaban dalam pikirku, yang tak sempat terucap langsung padanya, hanya melebarnya bibir yang kuarahkan padanya. Sejauh apa yang melekat dalam diriku, dan setiap jawabku akan dianggap baik dan benar oleh setiap satuan yang menghampiriku. Sebanyak satuan subjek yang bendawi dan nirbendawi (konsepsi). Sampai seorang teman itu hilang ditelan waktu matahari, hingga tiba rembulan menampakan senyumnya, gumaman jawaban masih saja menemani dengan hangat dan penuh mesra, disertai panacea hitam, sorot mata tetap saja awas akibatnya. bermuara untuk saat ini pada satu jawab yang tidak beralasan pasti, untuk diriku. Ya, semuanya untuk diriku. Jauh dekat pandanganku, untuk-ku. Luas sempit injak telapak kakiku, karena-ku. Apapun itu semua, untuk diri-ku yang berdiam bisu. Bisuku, untuk-ku.
Tekanan balpoint hitam pada secarik kertas, dari tangan yang sedikit berhias hitam pula. Sampai perdetik lewat begitu saja, alhasil sebuah coret. Arti diri sepenuhnya, ada dalam diri-ku. Dan setiap yang tergores akan memberikan arti, untuk siapa? Untuk siapa yang bersentuhan.
Buku-buku yang hadirnya memberi pilihan terlebih dahulu. Penulisnya kebanyakan tak pernah bertemu. Hanya harap untuk temu, dan ini berkaitan dengan arti pada diri penulis dan yang terkena oleh olehnya (buku-buku). Ya, kurasa memang demikian.
Seorang mahasiswa memberanikan diri untuk mencoba bermenit-menit melihat tumpukan kertas. Jenuh, dering telepon genggam, siaran kotak bergerak bergambar, janji dengan teman ataupun segala hasrat lainnya menghaampiri perdetiknya. Lalu, timbul tanya dari sekitarku, apa maksudnya? Aku juga tak paham. Jawabnya, hanya berusaha memilah salah satu ingin diantara puluhan keinginan. Untuk siapa? Jelas, untuk diri yang pemberani diantara pemberani yang mempunyai hasrat melakukan sesuatu.
Teringat pada cerita seorang yang dikutuk oleh Dewa, gara-gara mencuri api dari tempat dewa itu bersemayam tenang. Gelisah Dewa membuat korban, seorang yang dikutuk. Apa alasan dia dikutuk? Tentunya, naif sekali kalau saja alasannya karena mencuri. Memangnya manusia biasa yang suka menghukum melebihi kadar dari kesalahan atau lebih tepatnya bertindak seolah dewa. Tidak, Dewa tidak seperti itu. Api yang diberikan kepada umat manusia, harus ditebus dengan kutukan, terhimpit diantara bebatuan besar. Dan setiap menjelang mentari tiba, para burung-burung pemakan daging dan binatang buas lainnya datang dengan sigap, mengoyak daging-daging yang tak bisa bergerak.
Kenapa karena api? Apa memang demikian? Lagi-lagi membuat diam, segala konsepsi spekulatif akhirnya menemukan jawab sementara. Aku senang dengan hal-hal yang spekulatif. Walaupun kata-kata spekulatif itu membuat suatu istilah kambing hitam pada seorang, institusi atau lainnya. Lihat saja apa yang terjadi negeri ini, yang tak kunjung usai dari segala masalah, termasuk juga para pelatih yang pernah menangani Persib terkena juga istilah tersebut. Padahl, sains sekarang itu berasal dari pemikiran-pemikiran spekulatif. Hanya karena soal identitas saja, cenderung menafikan istilah spekulatif dan lebih mengedepankan kerasionalannya.
Kembali ke pertanyaan, apa karena api seorang itu dikutuk? jawabnya iya. Dengan api, seoarng ibu dapat memasak air dan mengerjakan tugasnya dengan baik sebagai seorang istri. Dengan api, para pengrajin logam, dapat menciptakan berbagai jenis peralatan yang dibutuhkan dalam peradaban manusia. Dengan api, mesin bermotor dapat bergerak. Api membuat suatu perubahan yang besar dalam kehidupan manusia, manusia kreatif. Karena api yang dicuri itu, Dewa takut kehilangan otoritasnya sebagai pemimpin alam semesta. Manusia menjadi berkuasa dan pandai, dengan pengorbanan. Selalu saja harus ada yang dikorbankan dalam setiap perubahan, kata-kata yang sering terdengar dalam diskusi mahasiswa ketika berbicara negara dan sekitarnya.
Lalu kenapa sampai berani mencuri api dewa dengan mengorbankan dirinya terkutuk seumur hidup, bahkan matinya pun dirayapi para burung? Lagi-lagi kujawab secara spekulatif, untuk dirinya dan yang bersentuhan dengannya. Otoritas Dewa pun pada akhirnya tertuju untuk dewa itu sendiri.
Setiap satuan individu pada akhirnya lebih terlihat egois, mementingkan dirinya sendiri, bahkan dewa sekalipun. Itu terlalu sederhana, seperti para penganut darwinisme, bahwa melihat gejala seperti ini adalah suatu keharusan daam kehidupan (seleksi alam), atau seorang filosof kenamaan menyebut homo homini lupus, manusia serigala bagi yang lainnya. Bukan egois, namun terlihat seperti gejala mental yang sederhana (praktis) dalam menyesuaikan hidupnya dengan yang lainnya, ada arti di dalamnya. Sehingga membuat selalu dalam proses menuju suatu yang baik dalam hidupnya.
Satu sisi manusia perlu bersikap praktis dengan perangkat yang ada dalam dirinya, dan disisi lain manusia perlu bersikap spekulatif dalam merumuskan sesuatu yang berarti untuk hidupnya. Apa maksudnya juga kita terus-terusan membaca buku dan merenung memikirkan sesuatu yang jelas adanya dan mungkin adanya di zaman sekarang yang cenderung lebih menitikberatkan kepraktisan dalam hidup? Terlebih lagi memikirkan suatu yang jauh disana, seperti para kaum agamawan.
Semua jawab berada dalam pikir kita masing-masing. Dan untuk apa kita jawab itu semua. Untuk diri pribadi. Terlepas arti yang diberikan pada diri kita itu bernilai atau tidak, kepraktisan dan spekulatif itu perlu dalam setiap detik detak jantung manusia. “hidup hanya menunda kekalahan”, ujar pujangga di negeri ini. Apa itu terlihat sisi egoisnya manusia? Kembali pada setumpuk daging yang bernama ‘aku’.
untuk ibuku. Manisi 22 januari 2011 (21.44)
Langganan:
Komentar (Atom)