Sabtu, 22 Januari 2011

Gumamanku 1
Ketika malam bersambut, rasa lelah meyertai setiap hentakan kaki. Tidak seperti biasanya, timbul keinginan untuk sedikit kilas balik terhadap apa-apa yang sudah kulakukan sampai sekarang ini. Ada saja, suatu waktu seseorang teman pernah bertanya, untuk apa kulakukan semua ini? Sampai sekarang ini? Banyak jawaban dalam pikirku, yang tak sempat terucap langsung padanya, hanya melebarnya bibir yang kuarahkan padanya. Sejauh apa yang melekat dalam diriku, dan setiap jawabku akan dianggap baik dan benar oleh setiap satuan yang menghampiriku. Sebanyak satuan subjek yang bendawi dan nirbendawi (konsepsi). Sampai seorang teman itu hilang ditelan waktu matahari, hingga tiba rembulan menampakan senyumnya, gumaman jawaban masih saja menemani dengan hangat dan penuh mesra, disertai panacea hitam, sorot mata tetap saja awas akibatnya. bermuara untuk saat ini pada satu jawab yang tidak beralasan pasti, untuk diriku. Ya, semuanya untuk diriku. Jauh dekat pandanganku, untuk-ku. Luas sempit injak telapak kakiku, karena-ku. Apapun itu semua, untuk diri-ku yang berdiam bisu. Bisuku, untuk-ku.
Tekanan balpoint hitam pada secarik kertas, dari tangan yang sedikit berhias hitam pula. Sampai perdetik lewat begitu saja, alhasil sebuah coret. Arti diri sepenuhnya, ada dalam diri-ku. Dan setiap yang tergores akan memberikan arti, untuk siapa? Untuk siapa yang bersentuhan.
Buku-buku yang hadirnya memberi pilihan terlebih dahulu. Penulisnya kebanyakan tak pernah bertemu. Hanya harap untuk temu, dan ini berkaitan dengan arti pada diri penulis dan yang terkena oleh olehnya (buku-buku). Ya, kurasa memang demikian.
Seorang mahasiswa memberanikan diri untuk mencoba bermenit-menit melihat tumpukan kertas. Jenuh, dering telepon genggam, siaran kotak bergerak bergambar, janji dengan teman ataupun segala hasrat lainnya menghaampiri perdetiknya. Lalu, timbul tanya dari sekitarku, apa maksudnya? Aku juga tak paham. Jawabnya, hanya berusaha memilah salah satu ingin diantara puluhan keinginan. Untuk siapa? Jelas, untuk diri yang pemberani diantara pemberani yang mempunyai hasrat melakukan sesuatu.
Teringat pada cerita seorang yang dikutuk oleh Dewa, gara-gara mencuri api dari tempat dewa itu bersemayam tenang. Gelisah Dewa membuat korban, seorang yang dikutuk. Apa alasan dia dikutuk? Tentunya, naif sekali kalau saja alasannya karena mencuri. Memangnya manusia biasa yang suka menghukum melebihi kadar dari kesalahan atau lebih tepatnya bertindak seolah dewa. Tidak, Dewa tidak seperti itu. Api yang diberikan kepada umat manusia, harus ditebus dengan kutukan, terhimpit diantara bebatuan besar. Dan setiap menjelang mentari tiba, para burung-burung pemakan daging dan binatang buas lainnya datang dengan sigap, mengoyak daging-daging yang tak bisa bergerak.
Kenapa karena api? Apa memang demikian? Lagi-lagi membuat diam, segala konsepsi spekulatif akhirnya menemukan jawab sementara. Aku senang dengan hal-hal yang spekulatif. Walaupun kata-kata spekulatif itu membuat suatu istilah kambing hitam pada seorang, institusi atau lainnya. Lihat saja apa yang terjadi negeri ini, yang tak kunjung usai dari segala masalah, termasuk juga para pelatih yang pernah menangani Persib terkena juga istilah tersebut. Padahl, sains sekarang itu berasal dari pemikiran-pemikiran spekulatif. Hanya karena soal identitas saja, cenderung menafikan istilah spekulatif dan lebih mengedepankan kerasionalannya.
Kembali ke pertanyaan, apa karena api seorang itu dikutuk? jawabnya iya. Dengan api, seoarng ibu dapat memasak air dan mengerjakan tugasnya dengan baik sebagai seorang istri. Dengan api, para pengrajin logam, dapat menciptakan berbagai jenis peralatan yang dibutuhkan dalam peradaban manusia. Dengan api, mesin bermotor dapat bergerak. Api membuat suatu perubahan yang besar dalam kehidupan manusia, manusia kreatif. Karena api yang dicuri itu, Dewa takut kehilangan otoritasnya sebagai pemimpin alam semesta. Manusia menjadi berkuasa dan pandai, dengan pengorbanan. Selalu saja harus ada yang dikorbankan dalam setiap perubahan, kata-kata yang sering terdengar dalam diskusi mahasiswa ketika berbicara negara dan sekitarnya.
Lalu kenapa sampai berani mencuri api dewa dengan mengorbankan dirinya terkutuk seumur hidup, bahkan matinya pun dirayapi para burung? Lagi-lagi kujawab secara spekulatif, untuk dirinya dan yang bersentuhan dengannya. Otoritas Dewa pun pada akhirnya tertuju untuk dewa itu sendiri.
Setiap satuan individu pada akhirnya lebih terlihat egois, mementingkan dirinya sendiri, bahkan dewa sekalipun. Itu terlalu sederhana, seperti para penganut darwinisme, bahwa melihat gejala seperti ini adalah suatu keharusan daam kehidupan (seleksi alam), atau seorang filosof kenamaan menyebut homo homini lupus, manusia serigala bagi yang lainnya. Bukan egois, namun terlihat seperti gejala mental yang sederhana (praktis) dalam menyesuaikan hidupnya dengan yang lainnya, ada arti di dalamnya. Sehingga membuat selalu dalam proses menuju suatu yang baik dalam hidupnya.
Satu sisi manusia perlu bersikap praktis dengan perangkat yang ada dalam dirinya, dan disisi lain manusia perlu bersikap spekulatif dalam merumuskan sesuatu yang berarti untuk hidupnya. Apa maksudnya juga kita terus-terusan membaca buku dan merenung memikirkan sesuatu yang jelas adanya dan mungkin adanya di zaman sekarang yang cenderung lebih menitikberatkan kepraktisan dalam hidup? Terlebih lagi memikirkan suatu yang jauh disana, seperti para kaum agamawan.
Semua jawab berada dalam pikir kita masing-masing. Dan untuk apa kita jawab itu semua. Untuk diri pribadi. Terlepas arti yang diberikan pada diri kita itu bernilai atau tidak, kepraktisan dan spekulatif itu perlu dalam setiap detik detak jantung manusia. “hidup hanya menunda kekalahan”, ujar pujangga di negeri ini. Apa itu terlihat sisi egoisnya manusia? Kembali pada setumpuk daging yang bernama ‘aku’.

untuk ibuku. Manisi 22 januari 2011 (21.44)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar